Sebagai ideologi yang mengatur seluruh aspek kehidupan, pendidikan dalam Islam tidak hanya diarahkan pada ritualitas dan nilai akhlak semata. Beberapa catatan penting dalam pendidikan perspektif Islam adalah : Pertama, tidak hanya berorientasi pada kesiapan memasuki dunia kerja. Lebih dari itu, mencetak seseorang yang memiliki kedalaman iman, kepekaan nurani, ketajaman nalar, kecakapan berkarya, keluasan wawasan. Al Qur’an menggambarkan bagaimana Luqman mendidik anaknya (QS 31: 13-27).
Oleh karena itu, nilai-nilai Islam tidak hanya tercermin dalam mata pelajaran agama saja, tapi dalam pelajaran yang lain. Maka, dalam Islam tidak dikenal dikotomi agama-iptek. Karena jelas, agama adalah spirit yang memberi arah kemajuan dan penggunaan iptek. Kedua, bersifat membumi. Artinya, pendidikan tidak dilepaskan dari persoalan kekinian yang sedang dihadapi masyarakat. Ketiga, prioritas pendidikan disesuaikan dengan urgensitas dan hukum syari’at dalam amal perbuatannya. Keempat, pendidikan adalah tanggung jawab tiga pilar masyarakat, yaitu individu, masyarakat dan negara. Dalam konteks individu, Islam sangat mendorong ummatnya untuk belajar dan memiliki pengetahuan (learning society). Sehingga menghabiskan waktu tanpa mendapatkan ilmu, memperoleh ijazah tanpa ilmu atau mendapat amanah sebelum menguasai ilmu adalah tercela.
Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, Allah pasti akan memudahkannya menempuh jalan menuju surga” (HR Turmidzi) “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap muslim. Siapa saja yang mempelajari ilmu, dia akan mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi pahala orang tersebut,” (HR Ibnu Majah)
Negara adalah institusi pelaksana pendidikan yang paling penting. Negaralah yang bisa melakukan intervensi ketika ada orang tua yang sengaja menghalangi anaknya menuntut ilmu tanpa alasan yang dibenarkan syari’at. Termasuk menghidupkan kontrol sosial, menjamin kemerdekaan pers. Negara wajib menetapkan sistem pendidikan yang menajamin berlangsungnya tujuan pendidikan. Mulai dari penetapan standar mutu pendidikan, standar guru sampai pembiayaan pendidikan. Negara adalah pihak yang bertanggung jawab terhadap segala urusan rakyat, termasuk dalam pendidikan. Sosok Ibnu Sina, Ibnu Kholdun, Ibnu Taimiyah, Imam Syafi’i dan ratusan ilmuan lain adalah contoh kecil produk sistem pendidikan Islam. Mereka sangat produktif dalam karya-karya monumental yang pada saat bersamaan, peradaban barat berada dalam masa kebodohan. Satu contoh kecil perhatian pemerintahan Islam dalam pendidikan adalah ketika Khalifah Harun al-Rasyid membuat keputusan: “Barangsiapa di antara kalian yang secara rutin mengumandangkan azan di wilayah kalian, maka catatlah pemberian (hadiah) sebesar 1000 dinar. Siapa pun yang menghafal al-Quran, tekun menuntut ilmu, dan rajin meramaikan majelis-majelis ilmu dan tempat pendidikan adalah berhak memperoleh 1000 dinar. Siapa saja yang menghafal al-Quran, meriwayatkan hadis, dan mendalami ilmu syariat Islam adalah berhak atas pemberian 1000 dinar”. (al-Imamah wa as-Siyasah, Ibn Qutaibah, I/99).
Maka, jika kita ingin ‘mengulang sejarah’, sekaligus membuat sejarah baru, memperbaiki generasi dan mengganti generasi yang sudah ‘usang dan aus’ seperti saat ini, kembali kepada sistem pendidikan Islam adalah jawabnya. Tentu, karena pendidikan tidak lepas dari sistem yang lain. Maka menghadirkan kembali penerapan syari’at dalam semua level kehidupan (pribadi, masyarakat dan negara) adalah sesuatu yang tidak bisa ditunda dan ditawar-tawar lagi. Wal hasil, mengurai benang kusut pendidikan, kebangkrutan intelektual, yang pada gilirannya, untuk mencetak generasi yang tangguh tidak ada jalan lain, kecuali kembalikan pada Islam. Hadirnya Lembaga Pendidikan Al-Muzzammil ini insya Allah menjadi harapan sekaligus jawaban atas keinginan mulia tersebut. Wallahu a’lam bishowab.